IJINKAN AKU
MENGAKHIRI HIDUPKU
Oleh Asti Widyaningsih
Gradasi senja samar-samar memantul
diwajahnya yang tak berdosa. Sesekali diperindah dengan kedipan mata yang
mengalun pilu. Bocah yang bercita-cita menjadi polisi, tak lain ia adalah
Alaizal Putra. Tubuhnya tinggi kurus kering. Potongan rambutnya cepak sudah pas
dengan gaya polisi. Namun, ia tidak bisa berbicara seperti orang normal
lainnya. Perkataannya mulai bisa dimengerti ketika ia berumur 5 tahun. Itupun
merasa kasihan apabila melihatnya berbicara. Otot-otot lehernya bermunculan
seperti kuli yang keberatan mengangkat batu. Mulutnya terlihat sedikit dipaksa
saat harus mengeluarkan kata-kata. Ia juga mengalami gangguan konsentrasi, sehingga
yang seharusnya duduk di kelas 6 SD tetapi ia masih di kelas 3 SD.
Pakaiannya tidak mencerminkan bahwa
ia adalah anak dari seorang pengusaha sukses di dusunnya. Ia terlihat seperti
anak pembantu yang selalu kelaparan karena tidak diberi makan.
“Al ayo bangun, siap-siap sekolah.”
Mbok Na selalu membangunkan Al setiap pagi. Mbok Na adalah pembantu dirumah Al
dan Mbok Na yang selalu memberi kasih sayang untuk Al melebihi ibunya. Mbok Na
juga sudah menganggap Al sebagai darah dagingnya.
“Iya Mbok.” Dengan gaya bicaranya
yang khas Al menjawab. Kemudian Al mencium Mbok Na seperti biasanya.
Terkadang Mbok Na menangis sendiri
jika memikirkan Al. Orangtuanya tidak ada yang mengerti. Al selalu diperlakukan
seperti anak tiri. Berbeda dengan kakak dan adiknya, yang segala sesuatunya
terpenuhi.
“Mbok saya ingin diantar ibu
berangkat sekolah, seperti teman-teman yang lain. Dik Riki sama Mbak Ria selalu
diantar, kalau aku tidak. Pasti Mbok Na yang mengantar.” Dengan lugunya Al
mengungkapkan isi hatinya.
“Ya bilang sama ibu Nak, kali aja
nanti langsung diantar sama ibu.” Mbok Na bingung mau mengatakan apa, karena
setiap berangkat sekolah hanya Riki dan Ria yang diantar dengan alasan sekolah
yang berdekatan (SMP dan SD). Dulunya memang Al satu sekolah dengan adiknya,
namun karena kemampuannya kurang, dia dipindahkan.
“Bu….”
“Apa?” Ibu Al menjawabnya dengan
judes sambil bersiap-siap untuk menjalankan aktivitasnya.
“Hari ini aku diantar ke sekolah ya
Bu.” Al mencoba memohon pada ibunya.
“Ibu kan mengantar Dik Riki sama Mbak
Ria! Apa tidak mengerti kamu?”
“Setelah itu kan bisa terus mengantar
aku Bu. Sekolahku jauh, kasihan Mbok Na harus naik sepeda mengantar aku. Kalau
Ibu kan bisa naik sepeda motor.” Al tetap membantah meskipun ibunya memberi
tanda-tanda tidak mau mengantarnya ke sekolah.
“Aku bisa terlambat untuk berdagang
nanti kalau harus bolak-balik mengantar kamu.” Ibu Al bergegas pergi
meninggalkan Al tanpa senyuman.
Al hanya bisa diam dan matanya mulai
berkaca-kaca. Dengan lirih ia mengatakan, “Aku bisa mengerti pekerjaan Ibu,
mungkin Ibu kecapekan dan besok aku pasti diantar sekolah.”
Belum sempat airmata Al jatuh, Mbok
Na sudah menghampirinya dengan penuh pengertian. Hanya Mbok Na yang selalu
mengobati kesedihan Al. Hari itu juga, terpaksa Al diantar Mbok Na.
Disekolah, Al yang paling tua dan
paling tinggi dari teman-temannya. Ia menjadi siswa yang paling dikenali
bapak/ibu guru ataupun wali murid. Al sering menjadi buah bibir di kalangan
wali murid dan tidak ada yang tak kenal dengan sosok Al. Memang dia terkenal
siswa yang oon. Tak jarang juga teman-temannya
mengolok-olok Al dengan segala kekurangannya. Hampir tak ada kelebihan padanya.
Hanya mampu menahan sakit hati kelebihannya.
Hari itu Al mendapat pelajaran seni
rupa. Tidak ada tugas yang rumit, semua siswa hanya diberi tugas untuk
mengambar bebas dan mempresentasikan karyanya di depan teman-teman. Serius,
tenang, suasana di kelas Al.
“Pak diwarna tidak?” Salah seorang
teman Al memecah keheningan.
“Terserah kalian, yang penting dibuat
sebagus mungkin.” Perintah bapak guru.
“Iya Pak....”
“ Kalau sudah bagaimana Pak?” Al ikut
bertanya.
“Hu…………memangnya kamu sudah selesai?”
Sorakan teman-teman Al yang tidak percaya bila Al sudah menyelesaikan
gambarnya. Seperti yang teman-teman Al tahu bahwa Al adalah siswa yang selalu
terakhir mengerkan tugas. Baru kali ini Al bisa cepat menyelesaikan tugasnya.
“Kamu sudah selesai?” Bapak guru
gantian bertanya pada Al yang sepertinya juga ragu jika Al sudah selesai.
Namun, kenyataannya Al memang sudah selesai.
“Sudah Pak.”
“Ya sudah, perlihatkan pada
teman-temanmu!.”
Al kemudian maju ke depan kelas
dengan membawa gambarnya. Seketika itu teman-teman Al sejenak berhenti
menggambar dan memusatkan perhatiannya pada Al. Tak ada yang bersuara. Tak ada
yang percaya. Sejenak kemudian isi kelas kembali penuh sorak. Tak lain lagi
adalah menertawakan hasil karya Al. Gambarnya tak teratur, perpaduan warnanya pecah,
tak enak dipandang, itu tentu!
“Ini gambar ibuku dan aku.” Tiba-tiba
Al angkat bicara. Semua teman-temanya diam.
“Maksudmu Al?” Pak guru bertanya
dengan mengernyitkan alisnya.
Al hanya diam. Sedikit menarik nafas.
Matanya lama memandang gambar yang ada ditangannya. Gambar anak kecil yang
mengulurkan kedua tangan pada seorang ibu. Penuh corat-coret buram disekitar
gambar anak kecil. Di belakang gambar anak kecil tergambar nisan. Penuh tanya
melihat gambar Al. Imajinasi yang tak mungkin muncul pada anak seperti Al.
“Ini aku yang merindukan pelukan dan
senyuman ibu.” Al menunjuk gambar dengan tangannya. Suaranya lirih mengiris
keheningan isi ruang kelas.
“Aku ingin ibu tahu bahwa aku sangat
rindu dengannya. Tapi ibu terlalu sibuk, ibu sayang dengan pekerjaannya.” Mata
Al mulai berkaca-kaca. Pak guru tidak menyangka Al mengatakan seperti itu. Pak
guru mulai mencoba merubah suasana, karena jam juga telah siang. Harus
bersiap-siap berkemas pulang.
“Ya sudah Al, gambar kamu biar bapak
simpan. Untuk yang belum selesai silakan dikumpul besok ya…. Sekarang mari
berkemas dan siap-siap pulang. Al silakan kembali ke tempat.”
Mbok Na kebingungan. Badan Al panas
tinggi dan wajahnya sangat pucat. Padahal sudah dikompres. Mbok Na berusaha
memberi tahu ibu Al agar membawa ke rumah sakit. Namun, tak ada tanggapan
sedikitpun. Ibu Al sibuk di depan televisi bersama Riki dan Ria. Mbok Na lagi
yang harus merawat Al. Mbok Na hanya berusaha semampunya. Setia menggantikan
kompres dan memberi Al obat penurun panas.
Sudah dua hari Al tidak berangkat
sekolah. Badannya masih berbaring di tempat tidur. Pak guru dan teman-teman Al
menjenguknya. Mereka membawakan macam-macam buah-buahan. Tapi sayang, Al tidak
menggubris teman-teman dan pak guru. Al tetap memejamkan mata karena masih
menahan sakit, yang entah sakit apa Al tidak paham dengan itu. Sebelum pulang
pak guru diam-diam memberikan gambar Al pada ibunya, yang saat itu juga ikut
menjamu. Namun, ibu Al hanya meletakkan gambar itu di samping buku-buku
pelajaran Al tanpa melihat apa isi gambar tersebut.
Sudah empat hari ini Al masih juga
sakit. Ibunya tetap tidak membawanya ke rumah sakit. Mbok Na tak bisa berbuat
apa-apa. Hanya menahan tangis ketika melihat kondisi Al. Tiba akhirnya Al harus
mengakhiri hidupnya di atas kasur tipis di samping Mbok Na.
“Jalan hidupmu mungkin indah seperti
ini Nak.” Mbok Na tak mampu menahan tangisnya lagi.
Ibu Al juga ikut menangis. Tangis
penyesalan. Tapi semua sudah terlambat. Al sudah tidak ada. Tinggal kenangan-kenangan
memilukan. Dibenak ibu Al hanya penyesalan dan penyesalan. Diraihnya gambar Al
yang ada di atas tumpukan buku-buku Al.
“Itu gambar dari pak guru. Gambar
milik Al.” Mbok Na yang duduk disamping ibu Al menjelaskan. Kalimat Mbok Na
terbata-bata masih menahan tangis. Ibu Al hanya terdiam
mulai marah dengan dirinya. Menyalahkan dirinya yang tidak memberi kasih sayang
pada Al. Dilihatnya kertas kecil abu-abu yang terselip diantara buku pelajaran
Al. Kemudian diambilnya.
“Aku memang ibu yang paling murka. Anakku hingga seperti ini. Aku tak
pantas menjadi seorang ibu.” Tangis ibu Al semakin menjadi-jadi setelah membaca
tulisan dikertas kecil itu. Mbok Na yang disampingnya juga tak kuasa lagi
menahan tangis mengingat Al. Semuanya tak berguna jika waktu sudah angkat
bicara.
Cerpen tugas Bahasa Indonesia, bukan?
BalasHapusiya jat...kae lho malah awita le mati ngguyu..dadi aku melu ngguyu rasido sedeeh
BalasHapus