08/01/14

IJINKAN AKU MENGAKHIRI HIDUPKU
 Oleh Asti Widyaningsih

Gradasi senja samar-samar memantul diwajahnya yang tak berdosa. Sesekali diperindah dengan kedipan mata yang mengalun pilu. Bocah yang bercita-cita menjadi polisi, tak lain ia adalah Alaizal Putra. Tubuhnya tinggi kurus kering. Potongan rambutnya cepak sudah pas dengan gaya polisi. Namun, ia tidak bisa berbicara seperti orang normal lainnya. Perkataannya mulai bisa dimengerti ketika ia berumur 5 tahun. Itupun merasa kasihan apabila melihatnya berbicara. Otot-otot lehernya bermunculan seperti kuli yang keberatan mengangkat batu. Mulutnya terlihat sedikit dipaksa saat harus mengeluarkan kata-kata. Ia juga mengalami gangguan konsentrasi, sehingga yang seharusnya duduk di kelas 6 SD tetapi ia masih di kelas 3 SD.
Pakaiannya tidak mencerminkan bahwa ia adalah anak dari seorang pengusaha sukses di dusunnya. Ia terlihat seperti anak pembantu yang selalu kelaparan karena tidak diberi makan.
“Al ayo bangun, siap-siap sekolah.” Mbok Na selalu membangunkan Al setiap pagi. Mbok Na adalah pembantu dirumah Al dan Mbok Na yang selalu memberi kasih sayang untuk Al melebihi ibunya. Mbok Na juga sudah menganggap Al sebagai darah dagingnya.
“Iya Mbok.” Dengan gaya bicaranya yang khas Al menjawab. Kemudian Al mencium Mbok Na seperti biasanya.
Terkadang Mbok Na menangis sendiri jika memikirkan Al. Orangtuanya tidak ada yang mengerti. Al selalu diperlakukan seperti anak tiri. Berbeda dengan kakak dan adiknya, yang segala sesuatunya terpenuhi.
“Mbok saya ingin diantar ibu berangkat sekolah, seperti teman-teman yang lain. Dik Riki sama Mbak Ria selalu diantar, kalau aku tidak. Pasti Mbok Na yang mengantar.” Dengan lugunya Al mengungkapkan isi hatinya.
“Ya bilang sama ibu Nak, kali aja nanti langsung diantar sama ibu.” Mbok Na bingung mau mengatakan apa, karena setiap berangkat sekolah hanya Riki dan Ria yang diantar dengan alasan sekolah yang berdekatan (SMP dan SD). Dulunya memang Al satu sekolah dengan adiknya, namun karena kemampuannya kurang, dia dipindahkan.
“Bu….”
“Apa?” Ibu Al menjawabnya dengan judes sambil bersiap-siap untuk menjalankan aktivitasnya.
“Hari ini aku diantar ke sekolah ya Bu.” Al mencoba memohon pada ibunya.
“Ibu kan mengantar Dik Riki sama Mbak Ria! Apa tidak mengerti kamu?”
“Setelah itu kan bisa terus mengantar aku Bu. Sekolahku jauh, kasihan Mbok Na harus naik sepeda mengantar aku. Kalau Ibu kan bisa naik sepeda motor.” Al tetap membantah meskipun ibunya memberi tanda-tanda tidak mau mengantarnya ke sekolah.
“Aku bisa terlambat untuk berdagang nanti kalau harus bolak-balik mengantar kamu.” Ibu Al bergegas pergi meninggalkan Al tanpa senyuman.
Al hanya bisa diam dan matanya mulai berkaca-kaca. Dengan lirih ia mengatakan, “Aku bisa mengerti pekerjaan Ibu, mungkin Ibu kecapekan dan besok aku pasti diantar sekolah.”
Belum sempat airmata Al jatuh, Mbok Na sudah menghampirinya dengan penuh pengertian. Hanya Mbok Na yang selalu mengobati kesedihan Al. Hari itu juga, terpaksa Al diantar Mbok Na.
Disekolah, Al yang paling tua dan paling tinggi dari teman-temannya. Ia menjadi siswa yang paling dikenali bapak/ibu guru ataupun wali murid. Al sering menjadi buah bibir di kalangan wali murid dan tidak ada yang tak kenal dengan sosok Al. Memang dia terkenal siswa yang oon. Tak jarang juga teman-temannya mengolok-olok Al dengan segala kekurangannya. Hampir tak ada kelebihan padanya. Hanya mampu menahan sakit hati kelebihannya.
Hari itu Al mendapat pelajaran seni rupa. Tidak ada tugas yang rumit, semua siswa hanya diberi tugas untuk mengambar bebas dan mempresentasikan karyanya di depan teman-teman. Serius, tenang, suasana di kelas Al.
“Pak diwarna tidak?” Salah seorang teman Al memecah keheningan.
“Terserah kalian, yang penting dibuat sebagus mungkin.” Perintah bapak guru.
“Iya Pak....”
“ Kalau sudah bagaimana Pak?” Al ikut bertanya.
“Hu…………memangnya kamu sudah selesai?” Sorakan teman-teman Al yang tidak percaya bila Al sudah menyelesaikan gambarnya. Seperti yang teman-teman Al tahu bahwa Al adalah siswa yang selalu terakhir mengerkan tugas. Baru kali ini Al bisa cepat menyelesaikan tugasnya.
“Kamu sudah selesai?” Bapak guru gantian bertanya pada Al yang sepertinya juga ragu jika Al sudah selesai. Namun, kenyataannya Al memang sudah selesai.
“Sudah Pak.”
“Ya sudah, perlihatkan pada teman-temanmu!.”
Al kemudian maju ke depan kelas dengan membawa gambarnya. Seketika itu teman-teman Al sejenak berhenti menggambar dan memusatkan perhatiannya pada Al. Tak ada yang bersuara. Tak ada yang percaya. Sejenak kemudian isi kelas kembali penuh sorak. Tak lain lagi adalah menertawakan hasil karya Al. Gambarnya tak teratur, perpaduan warnanya pecah, tak enak dipandang, itu tentu!
“Ini gambar ibuku dan aku.” Tiba-tiba Al angkat bicara. Semua teman-temanya diam.
“Maksudmu Al?” Pak guru bertanya dengan mengernyitkan alisnya.
Al hanya diam. Sedikit menarik nafas. Matanya lama memandang gambar yang ada ditangannya. Gambar anak kecil yang mengulurkan kedua tangan pada seorang ibu. Penuh corat-coret buram disekitar gambar anak kecil. Di belakang gambar anak kecil tergambar nisan. Penuh tanya melihat gambar Al. Imajinasi yang tak mungkin muncul pada anak seperti Al.
“Ini aku yang merindukan pelukan dan senyuman ibu.” Al menunjuk gambar dengan tangannya. Suaranya lirih mengiris keheningan isi ruang kelas.
“Aku ingin ibu tahu bahwa aku sangat rindu dengannya. Tapi ibu terlalu sibuk, ibu sayang dengan pekerjaannya.” Mata Al mulai berkaca-kaca. Pak guru tidak menyangka Al mengatakan seperti itu. Pak guru mulai mencoba merubah suasana, karena jam juga telah siang. Harus bersiap-siap berkemas pulang.
“Ya sudah Al, gambar kamu biar bapak simpan. Untuk yang belum selesai silakan dikumpul besok ya…. Sekarang mari berkemas dan siap-siap pulang. Al silakan kembali ke tempat.”
Mbok Na kebingungan. Badan Al panas tinggi dan wajahnya sangat pucat. Padahal sudah dikompres. Mbok Na berusaha memberi tahu ibu Al agar membawa ke rumah sakit. Namun, tak ada tanggapan sedikitpun. Ibu Al sibuk di depan televisi bersama Riki dan Ria. Mbok Na lagi yang harus merawat Al. Mbok Na hanya berusaha semampunya. Setia menggantikan kompres dan memberi Al obat penurun panas.
Sudah dua hari Al tidak berangkat sekolah. Badannya masih berbaring di tempat tidur. Pak guru dan teman-teman Al menjenguknya. Mereka membawakan macam-macam buah-buahan. Tapi sayang, Al tidak menggubris teman-teman dan pak guru. Al tetap memejamkan mata karena masih menahan sakit, yang entah sakit apa Al tidak paham dengan itu. Sebelum pulang pak guru diam-diam memberikan gambar Al pada ibunya, yang saat itu juga ikut menjamu. Namun, ibu Al hanya meletakkan gambar itu di samping buku-buku pelajaran Al tanpa melihat apa isi gambar tersebut.
Sudah empat hari ini Al masih juga sakit. Ibunya tetap tidak membawanya ke rumah sakit. Mbok Na tak bisa berbuat apa-apa. Hanya menahan tangis ketika melihat kondisi Al. Tiba akhirnya Al harus mengakhiri hidupnya di atas kasur tipis di samping Mbok Na.
“Jalan hidupmu mungkin indah seperti ini Nak.” Mbok Na tak mampu menahan tangisnya lagi.
Ibu Al juga ikut menangis. Tangis penyesalan. Tapi semua sudah terlambat. Al sudah tidak ada. Tinggal kenangan-kenangan memilukan. Dibenak ibu Al hanya penyesalan dan penyesalan. Diraihnya gambar Al yang ada di atas tumpukan buku-buku Al.
“Itu gambar dari pak guru. Gambar milik Al.” Mbok Na yang duduk disamping ibu Al menjelaskan. Kalimat Mbok Na terbata-bata masih menahan tangis. Ibu Al hanya terdiam mulai marah dengan dirinya. Menyalahkan dirinya yang tidak memberi kasih sayang pada Al. Dilihatnya kertas kecil abu-abu yang terselip diantara buku pelajaran Al. Kemudian diambilnya.
“Aku memang ibu yang paling murka. Anakku hingga seperti ini. Aku tak pantas menjadi seorang ibu.” Tangis ibu Al semakin menjadi-jadi setelah membaca tulisan dikertas kecil itu. Mbok Na yang disampingnya juga tak kuasa lagi menahan tangis mengingat Al. Semuanya tak berguna jika waktu sudah angkat bicara.

2 komentar :

  1. Cerpen tugas Bahasa Indonesia, bukan?

    BalasHapus
  2. iya jat...kae lho malah awita le mati ngguyu..dadi aku melu ngguyu rasido sedeeh

    BalasHapus